BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dari berbagai
perbedaan kehidupan manusia, satu bentuk variasi kehidupan mereka yang menonjol
adalah fenomena stratifikasi (tingkatan-tingkatan) sosial. Perbedaan itu tidak
semata-mata ada, tetapi melalui proses; suatu bentuk kehidupan (bisa berupa
gagasan, nilai, norma, aktifitas sosial, maupun benda-benda) akan ada dalam
masyarakat karena mereka menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan
berguna untuk mereka. Fenomena dari stratifikasi sosial ini akan selalu ada dalam
kehidupan manusia, sesederhana apapun kehidupan mereka, tetapi bentuknya
mungkin berbeda satu sama lain, semua tergantung bagaimana mereka
menempatkannya.
Stratifikasi
sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti Sistem
berlapis-lapis dalam masyarakat; kata Stratification berasal dari stratum
(jamaknya : strata) yang berarti lapisan; stratifikasi sosial adalah
pembedaan penduduk atau measyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat
(hierarkis). Selama dalam masyarakat itu ada sesuatu yang dihargai, dan setiap
masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, maka barang sesuatu itu akan
menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis dalam
masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai itu mungkin berupa uang atau
benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin berupa tanah, kekuasaan, ilmu
pengetahuan atau mungkin keturunan dari orang terhormat.
1.2
Tujuan
1.
Memahami dasar-dasar menegenai
stratifikasi sosial
2.
Dapat menyimpulkan serta memberikan
solusi yang mungkin dapat menyelesaikan.
3.
Memahami asal mula stratifikasi itu ada.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
“Stratifikasi sosial adalah kelas yang
mengacu pada satu unit masyarakat yang berbeda dari masyarakat lain dalam hal
nilai,prestis,kegiatan, kekayaan dan milik-milik pribadi lainnya an etiket
pergaulan mereka”.(Drs. Sahat Simamora,sosiologi pengantar. Hlm. 243).
(“Etnis hidup kembali, meskipun sekarang
terutama hanyalah etnisitas “budayani” saja. Cucu coba mengenangkanapa yang
oleh anak dicoba melupakan”(op cit, hlm.163).
Seorang
sosiolog, Pitirin A. Sorokin (1957) mengatakan bahwa sistem berlapis itu
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur.
Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga itu dalam jumlah yang sangat
banyak, suatu keadaan tidak semua orang bisa demikian bahkan hanya sedikit
orang yang bisa, dianggap oleh masyarakat berkedudukan tinggi atau ditempatkan
pada lapisan atas masyarakat; dan mereka yang hanya sedikit sekali atau sama
sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut, dalam pandangan
masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah. Atau ditempatkan pada lapisan bawah
masyarakat. Perbedaan kedudukan manusia dalam masyarakatnya secara langsung
menunjuk pada perbedaan pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tanggung
jawab nilai-nilai sosial dan perbedaan pengaruh di antara anggota-anggota
masyarakat.
Sejak
manusia mengenal adanya suatu bentuk kehidupan bersama di dalam bentuk
organisasi sosial, lapisan-lapisan masyarakat mulai timbul. Pada masyarakat
dengan kehidupan yang masih sederhana, pelapisan itu dimulai atas dasar
perbedaan gender dan usia, perbedaan antara pemimpin atau yang dianggap
sebagai pemimpin dengan yang dipimpin, atau perbedaan berdasarkan kekayaan.
Seorang ahli filsafat, Aristoteles, pernah mengatakan bahwa dalam
tiap-tiap negara terdapat tiga unsur ukuran kedudukan manusia dalam masyarakat,
yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di
tengah-tengahnya. Sedangkan pada masyarakat yang relatif kompleks dan maju tingkat
kehidupannya, maka semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan dalam
masyarakat itu, keadaan ini mudah untuk dimengerti karena jumlah manusia yang
semakin banyak maka kedudukan (pembagian tugas-kerja), hak-hak, kewajiban,
serta tanggung jawab sosial menjadi semakin kompleks pula.
kalau
dinyatakan dalam bentuk gambar, secara sederhana pada umumnya sistem pelapisan
sosial akan berbentuk seperti :
“Tetapi ras, tidak menjadi suatu konsep
penting sampai abad ke – 19” (Banton, 1970).
Misalnya
saja saya mengambil contoh tentang stratifikasi kasta atau dapat dikatakan
stratifikasi kelas di Pulau Bali.
Seperti yang kita ketahui, sebagian besar
masyarakat Bali memeluk agama Hindu. Atas dasar itulah sampai sekarang system
kasta masih dapat dijumpai di Bali. Kasta merupakan peninggalan nenek moyang
orang hindu diBali yg diwariskan dari generasi ke generasi. Pada zaman dahulu,
kasta itu dibuat berdasarkan profesi masyarakat. Sampai saat ini diBali ada 4
kasta yaitu: Brahmana, Ksatrya, Wesya dan Sudra.
-Kasta Brahmana merupakan kasta dari
masyarakat yg mempunyai profesi yg bergerak dibidang religi/agama seperti
Pendeta. Dimana sampai sekarang mereka diberi gelar/title Ida Bagus (laki-laki)
dan Ida Ayu (perempuan).
-Ksatrya; kasta dari masyarakat yg
berprofesi sebagai abdi Negara/kerajaan (zaman dulu), yg diberi gelar Anak
Agung.
Wesya; kasta dari masyarakat yg
berprofesi sebagai prajurit. Mereka diberi gelar Gusti Bagus (laki-laki) dan
Gusti Ayu (perempuan).
-Sudra; ini adalah kasta yg terakhir
diBali, dimana kasta Sudra tidak mempunyai gelar, mereka hanya dberi nama
menurut urutan kelahiran seperti; Wayan (anak pertama), Made (kedua), Nyoman
(ketiga) dan Ketut (keempat). Jika ada yg mempunyai lebih dari 4 orang anak
namanya akan kembali lagi keurutan pertama (wayan), begitupun seterusnya.
Pada zaman dahulu masyarakat di Bali tidak
boleh menikah dengan kasta yg berbeda. Seiring perkembangan zaman, aturan itu
tidak berlaku lagi untuk saat ini. Mereka boleh menikah dengan kasta yg berbeda
dengan syarat kasta yg perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta
perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta
si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di
Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.
Dalam
sistem kasta di Bali dikenal dengan adanya pengelompokan masyarakat ke dalam 4
(empat) kasta yakni : Brahmana, Ksatriya, Weisya, dan Sudra. Dalam hubungan
keempat kasta ini masyarakat yang berasal dari kasta triwangsa, yakni yang
berasal dari kasta brahmana, ksatriya, dan weisya sangat memegang peranan
dalam kehidupan masyarakat Bali, bahkan dalam era otonomi daerah dengan pelaksanaan Pilkada peranan kasta triwangsa juga sangat berperan penting dalam masyarakat untuk memilih Bupati/Wakil Bupati.
dalam kehidupan masyarakat Bali, bahkan dalam era otonomi daerah dengan pelaksanaan Pilkada peranan kasta triwangsa juga sangat berperan penting dalam masyarakat untuk memilih Bupati/Wakil Bupati.
Dalam
pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra berkedudukan sangat
rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus
menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.
Dalam penggolongan kasta di Bali dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu:
a.
kasta Brahmana.
Kasta
brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi
kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam
pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi
seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan
memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan
upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan
bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput
upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal
dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan
kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki,
Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak
laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan
griya.
b.
Kasta Ksatriya
Kasta
ini merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan
dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini
merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai
saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa
desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang
berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung,
Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama
tempat tinggalnya disebut dengan Puri.
c.
kasta Wesya
Masyarakat
Bali yang berasal dari kasta ini merupakan orang-orang yang memiliki hubungan
erat dengan keturunan raja-raja terdahulu. Masyarakat yang berasal dari kasta
ini biasanya merupakan keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama
kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang
ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya
karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta
ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun
I Gusti. Dinama untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan Jero.
d.
Kasta Sudra
Kasta
Sudra merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial
yang paling rendah, dinama masyarakat yang berasal dari kasta ini harus
berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang
lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa. Sampai saat ini masyarakat
yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa.
Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti
berikut :
-
Untuk anak pertama : Gede, Putu, Wayan.
-
Untuk anak kedua : Kadek, Nyoman, Nengah
-
Untuk anak ketiga : Komang
-
Untuk anak keempat : Ketut
Dan
dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan umah.
Dengan
uraian yang telah disampaikan di atas dalam penulisan makalah ini yang dimaksud
dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat Bali adalah struktur yang tercipta
dalam kehidupan masyarakat Bali yang menciptakan elit-elit lokal dalam
kehidupan masyarakat Bali. Dimana terbentuknya struktur kekuasaan tersebut
banyak dipengaruhi oleh faktor budaya sebagai warisan leluhur masyarakat Bali
melalui sistem kasta.
“ Asa Brigsgs telah
menunjukkan bahwa rakyat dan penulis terus memakai istilah seperti peringkat ,
tatanan dan derajat”.(Asa Brigss, 160,hlm 43)
5. Transformasi Kekuasaan akibat pengaruh globalisasi di Karangasem
Menurut Agus Salim Pola perubahan sosial ada dua macam
yaitu yang datang dari negara (state) dan yang datang dari bentuk pasar bebas
(free market). Perubahan yang dikelola oleh pemerintah berorientasi pada
ekonomi garis komando yang datang secara terpusat, sedangkan dari pasar
bebas-campur tangan pemerintah sangat terbatas. Negara memberi pengaruhnya
secara tidak langsung, sehingga pasar bebas lebih dominan.
Jika pada bagian struktur kekuasaan masyarakat Bali telah
disampaikan bagaimana sistem kekuasaan Bali melalui sistem kasta, namun setelah
mendapat pengaruh globalisasi kehidupan masyarakat Bali yang diwujudkan dalam
usaha pengalihan sistem kasta menjadi sistem warna. Adapun gambaran mengenai
sistem warna dapat dijelaskan sebagai berikut.
Bagi sebagian orang di Indonesia dan mungkin sebagian
masyarakat Bali tidak mengenal sistem Warna dalam masyarakat Bali karena selama
ini mengenal bahwa sistem pembagian masyarakat Bali hanya berdasarkan kasta
saja. Namun tidak dapat dipungkiri memang kasta telah menjadi suatu sistem
pengelompokan dan pemetaan kuasa masyarakat di Bali.
Warna adalah suatu sistem pembagian atau pengelompokan
masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jika seseorang tersebut bekerja sebagai seorang pendeta atau menjalankan
fungsi-fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai warna brahmana, jika
orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka dia akan berfungsi
sebagai wangsa ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai seorang pejabat
penting lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan warna weisya,
dan jika seseorang yang melaksanakan pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh
atau tenaga lepas dari seseorang maka ia dikatakan sebagai seseorang yang
menjalankan fungsi sebagai warna sudra.
Akhir-akhir ini perdebatan mengenai kasta dan warna di
Bali semakin menuai banyak pendapat, baik itu yang bersifat menerima apa adanya
sebagai warisan leluhur, ada yang mencoba mengkritisi sebagai bentuk protes
sosial dan upaya untuk menciptakan sirkulasi elit, ada yang mencoba memilahnya
sesuai dengan situasi yang ada misalnya menerapkan konsep kasta ketika pada
situasi adat istiadat namun menerima sistem warna sebagai praktek dalam
kehidupan modern, dan terakhir ada yang menganggap bukan permasalahan serius
ketika kekuasaan bisa diraih dengan berbagai macam cara.
Salah satu pendapat yang mencoba mengkritisi kasta dan
warna, sebagaimana yang disampaikan oleh Made Kembar Kerepun, bahwa sistem
Kasta di Bali merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh masyarakat di Bali
yang sangat cerdas dimana untuk menguatkan rekayasa tersebut para masyarakat
yang disebut dengan aktor cerdas tersebut dengan sengaja membuat acuan-acuan
dalam teks yang dalam kehidupan masyarakat Bali disebut dengan lontar yang
bertujuan untuk membuat perlindungan utuk menguatkan rekayasa tersebut, dimana
penulis mengemukakan sebagai payung hukum, dan pembenar. Made Kembar juga
menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut telah merugikan,
mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di luar lingkungan
Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.
Di Karangasem sendiri tranformasi kekuasaan pada
masyarakat ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pada pemegang kekuasaan.
Dimana pada kekuasaan dengan sistem kasta menempatkan Puri Karangasem sebagai
penguasa penuh, namun dengan adanya pengaruh pandangan baru terhadap masyarakat
Karangasem merubah peta kekuasaan itu sendiri yang ditandai dengan lahirnya
elit-elit baru di masyarakat Karangasem.
Hal ini ditunjukkan dengan sudah 3 (tiga) generasi Bupati
tidak pernah dijabat oleh keluarga Puri Karangasem. Ketika memasuki masa
kemerdekaan Indonesia, keturunan Puri Karangasem tersebut yang menjadi Bupati
pertama Karangasem adalah anak pertama AAAA Ketut Karangasem, yakni Anak Agung
Gede Jelantik. AA Gede Jelantik sempat digantikan oleh kalangan bukan Puri Gede
(Puri Karangasem), yakni I Gusti Lanang Rai. Pengganti I Gusti Lanang Rai
kembali berasal dari Puri Gede, yaitu Anak Agung Gede Karang-ayah AA Arya
Mataram-hingga 2,5 kali masa jabatan (12 tahun) menjadi Bupati Karangasem.
Setelah masa itu, dari Puri Karangasem tidak ada lagi
yang menjabat sebagai Bupati Karangasem. Mulai tahun 1970-an masa
partai-partaian, tiga bupati di Karangasem tidak berasal dari puri dan biasanya
jatah polisi. Bupati tersebut adalah I Ketut Merta, Sm.ik, kemudian pasca
reformasi dijabat oleh Drs. I Gede Sumantara Adi Prenata, dan I Wayan Geredeg.
Selain dari dominasi terhadap jabatan Bupati, indikasi
terhadap memudarnya kekuasaan Puri Karangasem juga bisa dilihat dari munculnya
elit-elit baru yang mampu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat Karangasem.
Dengan pengaruh globalisasi dengan sistem kapitalismenya adanya elit baru di
bidang ekonomi tersebut membuat terjadinya pergeseran pandangan masyarakat
terhadap siapa yang berkuasa, karena dengan melihat kondisi perekonomian
masyarakat Karangasem maka masyarakat akan cenderung “ikut” pada pemilik modal.
Beberapa elit ekonomi baru yang muncul di Karangasem seperti : Gusti Tusan,
Suryanata Sari, dan I Wayan Geredeg.
“Maka sekarang ibu
pekerja tipikal, tidak lagi seorang remaja tidak kawin tetapi seorang wanita
setengah umur yang sudah kawin yang memiliki anak-anak remaja atau dewasa”.
(Land, 1976, tlm. 117-8 dalam buku pengantar sosiologi “Hartono Adikusumo
hlm.114).
Contoh alustrasi akan hal sistem kasta dibali ini dapat
digambarkan seperti ini:
seorang yang berasal dari golongan sudra karena
ketekunannya dalam belajar dan bekerja berhasil menjadi seorang polisi atau
tentara maka secara otomatis golongannya meningkat menjadi seorang ksatria yang
bertugas untuk membela dan mempertahankan kedaulatan negara. Bisa saja seorang
brahmana yang melakukan tindak kejahatan seperti; pencurian, pemerkosaan,
perjinahan dan tinakan melawan hukum lainnya turun derajatnya menjadi golongan
yang lebih dan bahkan paling rendah karena perbuatannya sehingga harus menjalani
hukuman penjara dan setelah selesai menjalani hukuman akan kembali bergabung
dengan masyarakat dan tidak tahu lagi akan menjadi bergelut dalam bidang apa.
Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi
oleh “dharma”-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan
yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan
harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup
dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir
hayatnya.
Disamping itu saya juga ingin memaparkan mengenai bagian
dari sistem kasta yang juga terdapat di pulau bali.
Ciri
- ciri kebudayaan Bali Aga I
Oleh:
I Ketut Darsana, Dosen PS Seni Tari
Penduduk Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang hidup di daerah pegunungan
(pedalaman) Pulau Bali. Penduduk Bali Aga sering juga disebut dengan “ Wong
Bali Mula “ yaitu orang – orang Bali asli (Bali Mula), yang mendiami
Pulau Bali ini mandahului penduduk Bali Peda-taran. Orang – orang yang termasuk
kedalam kelompok Bali Aga meru-pakan kelompok orang yang telah memiliki
kebudayaan yang cukup ber-nilai dilihat dari aspek kebudayaan. Kebudayaan yang
beberapa pening-galannya yang masih dapat ditemukan sampai sekarang
memper-lihatkan ciri – ciri yang membedakan dengan kebudayaan belakangan yaitu
kebu-dayaan yang dibawa oleh orang – orang Bali Pedataran. Ciri – ciri pokok
yang menonjol dalam masyarakat Bali Aga meli-puti pola kehidupan, pole
kemasyarakatan, pola pemujaan terhadap roh nenek moyang. Pola kehidupan yang
sangat nyata pada kehidupan masyarakat Bali Aga, menampakkan corak komunal
yaitu suatu ciri yang menekan-kan bentuk kehidupan dalam situasi kebersamaan.
“Corak kebersamaan nampak dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan
secara go-tong royong baik dalam situasi suka atau situasi duka” (N.D.Pandit
Sastri, 1965, 94).
Ciri kehidupan gotong royong yang dimiliki oleh masyarakat Bali Aga tersebut
secara implisit merupakan corak kehidupan asli pola kehi-dupan masyarakat
Indonesia termasuk pola kehidupan masyarakat Bali Aga.
Contoh ciri kehidupan kebersamaan tersebut yang masih dapat ditemukan
sampai
sekarang ini seperti : “Ngeepin, sekaa memula, upa-cara kematian, membuat rumah,
upacara keagamaan, dan sebagainya” (Baka Dherana, 1992, 22).
Ciri kemasyarakatan penduduk Bali Aga yaitu perhubungan yang sejajar antara
anggota masyarakat (dikenal dengan sistem warna atau sistem kasta seperti
struktur kasta orang Bali Pedataran). Pengenalan kas-ta Bali Aga hanya ada
kasta laki dan perempuan seperti pada masyarakat Desa Trunyan, ada kelompok
kasta laki – laki dan kasta perempuan. “Yang dinamakan sistem kasta disini
adalah pengelompokan masyarakat menjadi dua bagian yakni kasta laki– laki dan
kasta perempuan (Taro, 1978,9).
Dua kelompok kasta laki–laki dan kasta perempuan tersebut maru-pakan dasar–dasar
y ang menimbulakan pemimpin–pemimpin
yang me-mimpin komunitasnya. Pemimpin dari kasta masing–masing akan berada pada
posisi “Tegak” masing – masing yang disebut “Lulu Apad”. Lulu dalam bahasa Bali
diartikan “dorong”/menyuduk memakai kepala. Lulu sering dalam penggunaannya
atau dalam proses penjadian ditambah de-ngan “ng” sehingga menjadi “Ngelulu”
yang artinya mendorong atau menyuduk dengan kepala. Sedang kata “Apad” dalam
hubungan dengan pengertian dan penggunaannya jarang sekali dapat dijumpai. Akan
tetapi dalam kaitan-nya dengan memberi pengertian tentang istilah suatu sistem
kepengu-rusan adat dapat ditemukan. Kata Apad dalam pembicaraan ini diartikan
sebagai “Batas Antara”. Batas yang dimaksud disini adalah batas yang terletak
antara anggota Krama Desa yang duduk di bagian kiri (Kiwa) dengan anggota Krama
Desa yang duduk di bagian kanan. Apad terletak di tengah – tengah yang membelah
menjadi dua bagian anggota Krama Desa. Kejelasan mengenai Apad tersebut dapat
dilihat dari pesisi “Sang-kep” yang mana anggota Krama Desa yang duduk
berurutan sesuai dengan “Tegak” masing–masing di Bale Agung, dibatasi oleh satu
bidang yang memanjang dari “Dulu” sampai ke “Teben” Bale Agung tersebut
sehingga Apad benar–benar merupakan garis pemisah antara Krama Desa Tengan
dengan Krama Desa Kiwa. Penggabungan kata Lulu dan kata Apad menimbulkan
pengertian bahwa orang yang duduk pada Bale Agung mendorong dengan kepala untuk
menempati kedudukan yang lebih di “Dulu”. Pengertian yang kedua yaitu “Ulu
Apad” yang terdiri dari dua kata yaitu kata “Ulu” dan “Apad”. Ulu menurut
Wojowasito dalam Kamus Kawi – Indonesia, mengartikan “Kepala” (Soswojo
Wojowasito, 1976, 70).
Semua
telah saya jabarkan mengenai sistem kasta yang terdapat diBali. Kasta merupakan
salah satu sistem stratifikasi sosial yang sampai saat ini masih ada dan exist.
Lalu bagaimana dengan dampak dengan sistem pernikahan dalam memaik sistem ini??
Saya akan sedikit menjelaskan sebagai berikut.
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama
dalam masalah pernikahan. Pada jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan
menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda agama dalam Islam.
Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi.
Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan pernikahan beda
kasta. Pernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yaitu :
-
Kasta istri lebih rendah
dari pada kasta suami.
Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi di
Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi
keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta
yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik
mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang
tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya batenan
untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa
daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang
memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang
dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan
prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.
-
Kasta
istri lebih tinggi daripada kasta suami
Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh
penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri
mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu,
biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut
sebagai "ngemaling". Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang
berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang
disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk bali
lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai
menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan
mengalami penurunan kasta.
Hal ini seperti yang pernah dialami oleh salah seorang teman
saya bernama kak Lisya (Ni Gusti Ayu Lisya Viatri) yang memiliki kasta Waisya.
Kak Lisya pernah berhubungan dengan laki-laki yang memiliki kasta lebih rendah
dari pada kasta-nya yang kemudian sangat ditentang oleh kedua orang tua, serta
keluarganya yang lain. Orang tua kak Lisya hanya mengijinkan kak Lisya untuk
menikah dengan laki-laki berkasta Waisya pula. Menurut kak Lisya, anak yang
memiliki kasta yang berbeda dengan orang tuanya (lebih rendah), tidak
diperbolehkan untuk menyentuh jenazah orang tuanya, bila mereka meninggal
kelak. Selain itu, perbedaan kasta antara anak dan orang tua juga dapat
berkaitan dengan hak waris kelak.
DAFTAR
PUSTAKA
http://imadewira.com/sistem-kasta-di-bali/. Diakses tanggal 21
maret 2012.
Drs. Sahat Simamora. 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Bina
Aksara:Jakarta.
Soekanto Soerjono.
1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers : Jakarta
Hadikusumo,
Hartono. 1992. Pengantar Sosiologi. PT. Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta.