ads

makalah stratifikasi sosial dibali. sosper1


BAB I
    PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Dari berbagai perbedaan kehidupan manusia, satu bentuk variasi kehidupan mereka yang menonjol adalah fenomena stratifikasi (tingkatan-tingkatan) sosial. Perbedaan itu tidak semata-mata ada, tetapi melalui proses; suatu bentuk kehidupan (bisa berupa gagasan, nilai, norma, aktifitas sosial, maupun benda-benda) akan ada dalam masyarakat karena mereka menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan berguna untuk mereka. Fenomena dari stratifikasi sosial ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia, sesederhana apapun kehidupan mereka, tetapi bentuknya mungkin berbeda satu sama lain, semua tergantung bagaimana mereka menempatkannya.
Stratifikasi sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti Sistem berlapis-lapis dalam masyarakat; kata Stratification berasal dari stratum (jamaknya : strata) yang berarti lapisan; stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau measyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Selama dalam masyarakat itu ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, maka barang sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau mungkin keturunan dari orang terhormat.

1.2              Tujuan
1.      Memahami dasar-dasar menegenai stratifikasi sosial
2.      Dapat menyimpulkan serta memberikan solusi yang mungkin dapat menyelesaikan.
3.      Memahami asal mula stratifikasi itu ada.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Stratifikasi sosial adalah kelas yang mengacu pada satu unit masyarakat yang berbeda dari masyarakat lain dalam hal nilai,prestis,kegiatan, kekayaan dan milik-milik pribadi lainnya an etiket pergaulan mereka”.(Drs. Sahat Simamora,sosiologi pengantar. Hlm. 243).
(“Etnis hidup kembali, meskipun sekarang terutama hanyalah etnisitas “budayani” saja. Cucu coba mengenangkanapa yang oleh anak dicoba melupakan”(op cit, hlm.163).
Seorang sosiolog, Pitirin A. Sorokin (1957) mengatakan bahwa sistem berlapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga itu dalam jumlah yang sangat banyak, suatu keadaan tidak semua orang bisa demikian bahkan hanya sedikit orang yang bisa, dianggap oleh masyarakat berkedudukan tinggi atau ditempatkan pada lapisan atas masyarakat; dan mereka yang hanya sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut, dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah. Atau ditempatkan pada lapisan bawah masyarakat. Perbedaan kedudukan manusia dalam masyarakatnya secara langsung menunjuk pada perbedaan pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tanggung jawab nilai-nilai sosial dan perbedaan pengaruh di antara anggota-anggota masyarakat.
Sejak manusia mengenal adanya suatu bentuk kehidupan bersama di dalam bentuk organisasi sosial, lapisan-lapisan masyarakat mulai timbul. Pada masyarakat dengan kehidupan yang masih sederhana, pelapisan itu dimulai atas dasar perbedaan gender dan usia, perbedaan antara pemimpin atau yang dianggap sebagai pemimpin dengan yang dipimpin, atau perbedaan berdasarkan kekayaan. Seorang ahli filsafat, Aristoteles, pernah mengatakan bahwa dalam tiap-tiap negara terdapat tiga unsur ukuran kedudukan manusia dalam masyarakat, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Sedangkan pada masyarakat yang relatif kompleks dan maju tingkat kehidupannya, maka semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat itu, keadaan ini mudah untuk dimengerti karena jumlah manusia yang semakin banyak maka kedudukan (pembagian tugas-kerja), hak-hak, kewajiban, serta tanggung jawab sosial menjadi semakin kompleks pula.
kalau dinyatakan dalam bentuk gambar, secara sederhana pada umumnya sistem pelapisan sosial akan berbentuk seperti :
segitiga s

Tetapi ras, tidak menjadi suatu konsep penting sampai abad ke – 19” (Banton, 1970).
Misalnya saja saya mengambil contoh tentang stratifikasi kasta atau dapat dikatakan stratifikasi kelas di Pulau Bali.
Seperti yang kita ketahui, sebagian besar masyarakat Bali memeluk agama Hindu. Atas dasar itulah sampai sekarang system kasta masih dapat dijumpai di Bali. Kasta merupakan peninggalan nenek moyang orang hindu diBali yg diwariskan dari generasi ke generasi. Pada zaman dahulu, kasta itu dibuat berdasarkan profesi masyarakat. Sampai saat ini diBali ada 4 kasta yaitu: Brahmana, Ksatrya, Wesya dan Sudra.

-Kasta Brahmana merupakan kasta dari masyarakat yg mempunyai profesi yg bergerak dibidang religi/agama seperti Pendeta. Dimana sampai sekarang mereka diberi gelar/title Ida Bagus (laki-laki) dan Ida Ayu (perempuan).
-Ksatrya; kasta dari masyarakat yg berprofesi sebagai abdi Negara/kerajaan (zaman dulu), yg diberi gelar Anak Agung.
Wesya; kasta dari masyarakat yg berprofesi sebagai prajurit. Mereka diberi gelar Gusti Bagus (laki-laki) dan Gusti Ayu (perempuan).
-Sudra; ini adalah kasta yg terakhir diBali, dimana kasta Sudra tidak mempunyai gelar, mereka hanya dberi nama menurut urutan kelahiran seperti; Wayan (anak pertama), Made (kedua), Nyoman (ketiga) dan Ketut (keempat). Jika ada yg mempunyai lebih dari 4 orang anak namanya akan kembali lagi keurutan pertama (wayan), begitupun seterusnya.

Pada zaman dahulu masyarakat di Bali tidak boleh menikah dengan kasta yg berbeda. Seiring perkembangan zaman, aturan itu tidak berlaku lagi untuk saat ini. Mereka boleh menikah dengan kasta yg berbeda dengan syarat kasta yg perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.
Dalam sistem kasta di Bali dikenal dengan adanya pengelompokan masyarakat ke dalam 4 (empat) kasta yakni : Brahmana, Ksatriya, Weisya, dan Sudra. Dalam hubungan keempat kasta ini masyarakat yang berasal dari kasta triwangsa, yakni yang berasal dari kasta brahmana, ksatriya, dan weisya sangat memegang peranan
dalam kehidupan masyarakat Bali, bahkan dalam era otonomi daerah dengan pelaksanaan Pilkada peranan kasta triwangsa juga sangat berperan penting dalam masyarakat untuk memilih Bupati/Wakil Bupati.
Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi. Dalam penggolongan kasta di Bali dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu:
a. kasta Brahmana.
Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan griya.
b. Kasta Ksatriya
Kasta ini merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan Puri.
c. kasta Wesya
Masyarakat Bali yang berasal dari kasta ini merupakan orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan keturunan raja-raja terdahulu. Masyarakat yang berasal dari kasta ini biasanya merupakan keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dinama untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan Jero.
d. Kasta Sudra
Kasta Sudra merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dinama masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa. Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut :
- Untuk anak pertama : Gede, Putu, Wayan.
- Untuk anak kedua : Kadek, Nyoman, Nengah
- Untuk anak ketiga : Komang
- Untuk anak keempat : Ketut
Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan umah.
Dengan uraian yang telah disampaikan di atas dalam penulisan makalah ini yang dimaksud dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat Bali adalah struktur yang tercipta dalam kehidupan masyarakat Bali yang menciptakan elit-elit lokal dalam kehidupan masyarakat Bali. Dimana terbentuknya struktur kekuasaan tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor budaya sebagai warisan leluhur masyarakat Bali melalui sistem kasta.
Asa Brigsgs telah menunjukkan bahwa rakyat dan penulis terus memakai istilah seperti peringkat , tatanan dan derajat”.(Asa Brigss, 160,hlm 43)

5. Transformasi Kekuasaan akibat pengaruh globalisasi di Karangasem
Menurut Agus Salim Pola perubahan sosial ada dua macam yaitu yang datang dari negara (state) dan yang datang dari bentuk pasar bebas (free market). Perubahan yang dikelola oleh pemerintah berorientasi pada ekonomi garis komando yang datang secara terpusat, sedangkan dari pasar bebas-campur tangan pemerintah sangat terbatas. Negara memberi pengaruhnya secara tidak langsung, sehingga pasar bebas lebih dominan.
Jika pada bagian struktur kekuasaan masyarakat Bali telah disampaikan bagaimana sistem kekuasaan Bali melalui sistem kasta, namun setelah mendapat pengaruh globalisasi kehidupan masyarakat Bali yang diwujudkan dalam usaha pengalihan sistem kasta menjadi sistem warna. Adapun gambaran mengenai sistem warna dapat dijelaskan sebagai berikut.
Bagi sebagian orang di Indonesia dan mungkin sebagian masyarakat Bali tidak mengenal sistem Warna dalam masyarakat Bali karena selama ini mengenal bahwa sistem pembagian masyarakat Bali hanya berdasarkan kasta saja. Namun tidak dapat dipungkiri memang kasta telah menjadi suatu sistem pengelompokan dan pemetaan kuasa masyarakat di Bali.
Warna adalah suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja sebagai seorang pendeta atau menjalankan fungsi-fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai warna brahmana, jika orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka dia akan berfungsi sebagai wangsa ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai seorang pejabat penting lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan warna weisya, dan jika seseorang yang melaksanakan pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh atau tenaga lepas dari seseorang maka ia dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan fungsi sebagai warna sudra.
Akhir-akhir ini perdebatan mengenai kasta dan warna di Bali semakin menuai banyak pendapat, baik itu yang bersifat menerima apa adanya sebagai warisan leluhur, ada yang mencoba mengkritisi sebagai bentuk protes sosial dan upaya untuk menciptakan sirkulasi elit, ada yang mencoba memilahnya sesuai dengan situasi yang ada misalnya menerapkan konsep kasta ketika pada situasi adat istiadat namun menerima sistem warna sebagai praktek dalam kehidupan modern, dan terakhir ada yang menganggap bukan permasalahan serius ketika kekuasaan bisa diraih dengan berbagai macam cara.
Salah satu pendapat yang mencoba mengkritisi kasta dan warna, sebagaimana yang disampaikan oleh Made Kembar Kerepun, bahwa sistem Kasta di Bali merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh masyarakat di Bali yang sangat cerdas dimana untuk menguatkan rekayasa tersebut para masyarakat yang disebut dengan aktor cerdas tersebut dengan sengaja membuat acuan-acuan dalam teks yang dalam kehidupan masyarakat Bali disebut dengan lontar yang bertujuan untuk membuat perlindungan utuk menguatkan rekayasa tersebut, dimana penulis mengemukakan sebagai payung hukum, dan pembenar. Made Kembar juga menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut telah merugikan, mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di luar lingkungan Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.
Di Karangasem sendiri tranformasi kekuasaan pada masyarakat ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pada pemegang kekuasaan. Dimana pada kekuasaan dengan sistem kasta menempatkan Puri Karangasem sebagai penguasa penuh, namun dengan adanya pengaruh pandangan baru terhadap masyarakat Karangasem merubah peta kekuasaan itu sendiri yang ditandai dengan lahirnya elit-elit baru di masyarakat Karangasem.
Hal ini ditunjukkan dengan sudah 3 (tiga) generasi Bupati tidak pernah dijabat oleh keluarga Puri Karangasem. Ketika memasuki masa kemerdekaan Indonesia, keturunan Puri Karangasem tersebut yang menjadi Bupati pertama Karangasem adalah anak pertama AAAA Ketut Karangasem, yakni Anak Agung Gede Jelantik. AA Gede Jelantik sempat digantikan oleh kalangan bukan Puri Gede (Puri Karangasem), yakni I Gusti Lanang Rai. Pengganti I Gusti Lanang Rai kembali berasal dari Puri Gede, yaitu Anak Agung Gede Karang-ayah AA Arya Mataram-hingga 2,5 kali masa jabatan (12 tahun) menjadi Bupati Karangasem.
Setelah masa itu, dari Puri Karangasem tidak ada lagi yang menjabat sebagai Bupati Karangasem. Mulai tahun 1970-an masa partai-partaian, tiga bupati di Karangasem tidak berasal dari puri dan biasanya jatah polisi. Bupati tersebut adalah I Ketut Merta, Sm.ik, kemudian pasca reformasi dijabat oleh Drs. I Gede Sumantara Adi Prenata, dan I Wayan Geredeg.
Selain dari dominasi terhadap jabatan Bupati, indikasi terhadap memudarnya kekuasaan Puri Karangasem juga bisa dilihat dari munculnya elit-elit baru yang mampu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat Karangasem. Dengan pengaruh globalisasi dengan sistem kapitalismenya adanya elit baru di bidang ekonomi tersebut membuat terjadinya pergeseran pandangan masyarakat terhadap siapa yang berkuasa, karena dengan melihat kondisi perekonomian masyarakat Karangasem maka masyarakat akan cenderung “ikut” pada pemilik modal. Beberapa elit ekonomi baru yang muncul di Karangasem seperti : Gusti Tusan, Suryanata Sari, dan I Wayan Geredeg.



Maka sekarang ibu pekerja tipikal, tidak lagi seorang remaja tidak kawin tetapi seorang wanita setengah umur yang sudah kawin yang memiliki anak-anak remaja atau dewasa”. (Land, 1976, tlm. 117-8 dalam buku pengantar sosiologi “Hartono Adikusumo hlm.114).
Contoh alustrasi akan hal sistem kasta dibali ini dapat digambarkan seperti ini:
seorang yang berasal dari golongan sudra karena ketekunannya dalam belajar dan bekerja berhasil menjadi seorang polisi atau tentara maka secara otomatis golongannya meningkat menjadi seorang ksatria yang bertugas untuk membela dan mempertahankan kedaulatan negara. Bisa saja seorang brahmana yang melakukan tindak kejahatan seperti; pencurian, pemerkosaan, perjinahan dan tinakan melawan hukum lainnya turun derajatnya menjadi golongan yang lebih dan bahkan paling rendah karena perbuatannya sehingga harus menjalani hukuman penjara dan setelah selesai menjalani hukuman akan kembali bergabung dengan masyarakat dan tidak tahu lagi akan menjadi bergelut dalam bidang apa.
Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir hayatnya.
           
Disamping itu saya juga ingin memaparkan mengenai bagian dari sistem kasta yang juga terdapat di pulau bali.

Ciri - ciri kebudayaan Bali Aga I
Oleh: I Ketut Darsana, Dosen PS Seni Tari
Penduduk Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang hidup di daerah pegunungan (pedalaman) Pulau Bali. Penduduk Bali Aga sering juga disebut dengan “ Wong Bali Mula “ yaitu orang – orang Bali asli (Bali Mula), yang mendiami Pulau Bali ini mandahului penduduk Bali Peda-taran. Orang – orang yang termasuk kedalam kelompok Bali Aga meru-pakan kelompok orang yang telah memiliki kebudayaan yang cukup ber-nilai dilihat dari aspek kebudayaan. Kebudayaan yang beberapa pening-galannya yang masih dapat ditemukan sampai sekarang memper-lihatkan ciri – ciri yang membedakan dengan kebudayaan belakangan yaitu kebu-dayaan yang dibawa oleh orang – orang Bali Pedataran. Ciri – ciri pokok yang menonjol dalam masyarakat Bali Aga meli-puti pola kehidupan, pole kemasyarakatan, pola pemujaan terhadap roh nenek moyang. Pola kehidupan yang sangat nyata pada kehidupan masyarakat Bali Aga, menampakkan corak komunal yaitu suatu ciri yang menekan-kan bentuk kehidupan dalam situasi kebersamaan. “Corak kebersamaan nampak dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara go-tong royong baik dalam situasi suka atau situasi duka” (N.D.Pandit Sastri, 1965, 94).
Ciri kehidupan gotong royong yang dimiliki oleh masyarakat Bali Aga tersebut secara implisit merupakan corak kehidupan asli pola kehi-dupan masyarakat Indonesia termasuk pola kehidupan masyarakat Bali Aga.

Contoh ciri kehidupan kebersamaan tersebut yang masih dapat ditemukan sampai
sekarang ini seperti : “Ngeepin, sekaa memula, upa-cara kematian, membuat rumah, upacara keagamaan, dan sebagainya” (Baka Dherana, 1992, 22).
Ciri kemasyarakatan penduduk Bali Aga yaitu perhubungan yang sejajar antara anggota masyarakat (dikenal dengan sistem warna atau sistem kasta seperti struktur kasta orang Bali Pedataran). Pengenalan kas-ta Bali Aga hanya ada kasta laki dan perempuan seperti pada masyarakat Desa Trunyan, ada kelompok kasta laki – laki dan kasta perempuan. “Yang dinamakan sistem kasta disini adalah pengelompokan masyarakat menjadi dua bagian yakni kasta laki– laki dan kasta perempuan (Taro, 1978,9).
Dua kelompok kasta laki–laki dan kasta perempuan tersebut maru-pakan dasar–dasar y       ang menimbulakan pemimpin–pemimpin yang me-mimpin komunitasnya. Pemimpin dari kasta masing–masing akan berada pada posisi “Tegak” masing – masing yang disebut “Lulu Apad”. Lulu dalam bahasa Bali diartikan “dorong”/menyuduk memakai kepala. Lulu sering dalam penggunaannya atau dalam proses penjadian ditambah de-ngan “ng” sehingga menjadi “Ngelulu” yang artinya mendorong atau menyuduk dengan kepala. Sedang kata “Apad” dalam hubungan dengan pengertian dan penggunaannya jarang sekali dapat dijumpai. Akan tetapi dalam kaitan-nya dengan memberi pengertian tentang istilah suatu sistem kepengu-rusan adat dapat ditemukan. Kata Apad dalam pembicaraan ini diartikan sebagai “Batas Antara”. Batas yang dimaksud disini adalah batas yang terletak antara anggota Krama Desa yang duduk di bagian kiri (Kiwa) dengan anggota Krama Desa yang duduk di bagian kanan. Apad terletak di tengah – tengah yang membelah menjadi dua bagian anggota Krama Desa. Kejelasan mengenai Apad tersebut dapat dilihat dari pesisi “Sang-kep” yang mana anggota Krama Desa yang duduk berurutan sesuai dengan “Tegak” masing–masing di Bale Agung, dibatasi oleh satu bidang yang memanjang dari “Dulu” sampai ke “Teben” Bale Agung tersebut sehingga Apad benar–benar merupakan garis pemisah antara Krama Desa Tengan dengan Krama Desa Kiwa. Penggabungan kata Lulu dan kata Apad menimbulkan pengertian bahwa orang yang duduk pada Bale Agung mendorong dengan kepala untuk menempati kedudukan yang lebih di “Dulu”. Pengertian yang kedua yaitu “Ulu Apad” yang terdiri dari dua kata yaitu kata “Ulu” dan “Apad”. Ulu menurut Wojowasito dalam Kamus Kawi – Indonesia, mengartikan “Kepala” (Soswojo Wojowasito, 1976, 70).

Semua telah saya jabarkan mengenai sistem kasta yang terdapat diBali. Kasta merupakan salah satu sistem stratifikasi sosial yang sampai saat ini masih ada dan exist. Lalu bagaimana dengan dampak dengan sistem pernikahan dalam memaik sistem ini?? Saya akan sedikit menjelaskan sebagai berikut.
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi. Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan pernikahan beda kasta. Pernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yaitu :
-          Kasta istri lebih rendah dari pada kasta suami.
Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.
-          Kasta istri lebih tinggi daripada kasta suami
Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling". Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.


Hal ini seperti yang pernah dialami oleh salah seorang teman saya bernama kak Lisya (Ni Gusti Ayu Lisya Viatri) yang memiliki kasta Waisya. Kak Lisya pernah berhubungan dengan laki-laki yang memiliki kasta lebih rendah dari pada kasta-nya yang kemudian sangat ditentang oleh kedua orang tua, serta keluarganya yang lain. Orang tua kak Lisya hanya mengijinkan kak Lisya untuk menikah dengan laki-laki berkasta Waisya pula. Menurut kak Lisya, anak yang memiliki kasta yang berbeda dengan orang tuanya (lebih rendah), tidak diperbolehkan untuk menyentuh jenazah orang tuanya, bila mereka meninggal kelak. Selain itu, perbedaan kasta antara anak dan orang tua juga dapat berkaitan dengan hak waris kelak.
















DAFTAR PUSTAKA

http://imadewira.com/sistem-kasta-di-bali/. Diakses tanggal  21 maret 2012.
Drs. Sahat Simamora. 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Bina Aksara:Jakarta.
Soekanto Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers : Jakarta
Hadikusumo, Hartono. 1992. Pengantar Sosiologi. PT. Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta.
                

Posted in . Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Search

Swedish Greys - a Kreatif theme from Seo. Converted by sponsor.